Perjanjian Oslo, Bosnia, dan Model SDF Suriah - Islam di Australia dan Pasifik

Post Top Ad

Perjanjian Oslo, Bosnia, dan Model SDF Suriah

Perjanjian Oslo, Bosnia, dan Model SDF Suriah

Share This

Perjanjian internasional yang membagi wilayah kerap menimbulkan perdebatan panjang. Dua contoh yang paling sering dikaji adalah Perjanjian Oslo II yang diterapkan di Palestina dan perjanjian damai di Bosnia yang melahirkan sistem kanton. Keduanya memiliki persamaan dan perbedaan yang mencolok, namun sama-sama menunjukkan bagaimana negosiasi politik berujung pada pembelahan administratif yang berdampak hingga hari ini.

Perjanjian Oslo II yang ditandatangani pada 1995 membagi Tepi Barat ke dalam tiga zona, yakni wilayah A, B, dan C. Zona A berada di bawah kendali penuh Otoritas Palestina, zona B dikelola bersama dengan Israel, sementara zona C tetap berada di bawah kontrol penuh Israel. Skema ini dimaksudkan sebagai langkah transisi menuju negara Palestina, namun hingga kini justru memicu kebuntuan politik.

Di sisi lain, Bosnia pascaperang juga melahirkan sistem pembagian wilayah yang kompleks. Kesepakatan damai yang diilhami oleh rencana Vance–Owen menghasilkan sepuluh kanton di Federasi Bosnia dan Herzegovina. Setiap kanton memiliki pemerintahan sendiri, bahkan perdana menteri, yang mencerminkan heterogenitas etnis antara Bosnia, Kroat, dan komunitas campuran.
Kesamaan mencolok antara Oslo II dan sistem kanton Bosnia adalah sama-sama membelah wilayah menjadi beberapa zona administratif. Tujuannya serupa, yakni meredakan konflik berdarah dan menciptakan mekanisme politik baru yang dianggap lebih stabil. Namun, cara implementasi dan dampaknya berbeda signifikan.

Jika di Palestina pembagian wilayah A, B, dan C lebih menegaskan dominasi Israel dalam aspek keamanan, maka di Bosnia pembagian kanton dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan etnis. Lima kanton mayoritas Bosnia, tiga mayoritas Kroat, dan dua campuran adalah refleksi langsung dari peta etnis pascaperang.

Uniknya, wilayah Serbia Bosnia tidak ikut terpecah ke dalam sistem kanton. Sebaliknya, wilayah itu memperoleh bentuk pemerintahan yang lebih solid dalam kerangka Republika Srpska. Kondisi ini membuat struktur politik Bosnia tetap timpang dan menyisakan ketegangan etnis hingga kini.

Hal ini berbeda dengan Palestina di mana semua wilayah terfragmentasi dalam satu skema. Meski begitu, sama seperti Bosnia, sistem ini menciptakan kebingungan politik karena tiap entitas memiliki derajat otonomi berbeda.

Jika dibandingkan dengan Suriah, model yang dijalankan oleh Syrian Democratic Forces (SDF) menarik perhatian. SDF mengembangkan sistem kanton di wilayah yang mereka kuasai, mirip dengan apa yang terjadi di Bosnia. Setiap kanton memiliki tingkat otonomi lokal dalam pengelolaan sipil, sementara militer tetap berada dalam struktur SDF.

Kesamaan antara Bosnia dan Suriah terlihat jelas pada konsep kantonisasi. Keduanya sama-sama membagi wilayah berdasarkan komunitas lokal, meski latar belakangnya berbeda. Bosnia lahir dari konflik etnis, sementara SDF di Suriah lahir dari perang sipil dan kebutuhan manajemen wilayah yang luas. 

Kesimpulannya, di Israel perjanjian itu menguntungkan Tel Aviv, di Bosnia menguntungkan kelompok Serbia dan di SDF Suriah menguntungkan kalangan Kurdi khususnya kelompok stateless Kurdi dari PKK Turki yang mendominasi YPG, kekuatan utama di SDF.

Dalam konteks Oslo II, perbandingan dengan SDF agak berbeda. Jika Bosnia dan Suriah menekankan otonomi lokal dalam kerangka federatif, maka Oslo II lebih menegaskan fragmentasi teritorial yang pada akhirnya melemahkan kesatuan Palestina.

Ada pula perbedaan dari sisi legitimasi politik. Bosnia melahirkan sistem kanton melalui perjanjian internasional yang diakui PBB, Suriah melalui kekuatan de facto di lapangan, sementara Palestina melalui kesepakatan yang dinegosiasikan namun tidak pernah tuntas diwujudkan.

Meski demikian, ada benang merah antara ketiganya: sistem pembagian wilayah yang lahir dari upaya mengakhiri konflik, namun justru meninggalkan kompleksitas baru. Baik di Palestina, Bosnia, maupun Suriah, pembelahan wilayah lebih sering dipandang sebagai solusi sementara ketimbang jalan permanen menuju stabilitas.

Mengapa Bosnia-Serbia tidak ikut terpecah, sementara wilayah Palestina seluruhnya terbagi, menjadi pertanyaan penting. Sebagian analis menilai hal ini terkait dengan kekuatan tawar Serbia Bosnia yang lebih solid, sementara Palestina lebih lemah dalam negosiasi.

Hal serupa terlihat di Suriah. SDF mampu menerapkan kantonisasi karena mereka memiliki kendali nyata di lapangan, bukan sekadar kesepakatan di meja perundingan. Faktor kekuatan militer tampaknya menjadi penentu utama keberhasilan model ini.

Jika ditilik lebih jauh, Bosnia dan Suriah sama-sama menunjukkan bagaimana model kanton mampu memberikan stabilitas relatif di wilayah yang plural. Namun di Palestina, pembagian zona justru memperdalam perpecahan karena kendali utama tetap berada di pihak luar, yakni Israel.

Artinya, faktor kedaulatan menjadi kunci. Bosnia dan Suriah meski terbelah, tetap memiliki kendali internal. Palestina sebaliknya, sebagian besar wilayahnya tetap di bawah pengawasan asing, sehingga sistem pembagian wilayah malah memperkuat ketergantungan.

Dengan demikian, meskipun ada kemiripan struktur, dampak politiknya jauh berbeda. Bosnia dan Suriah menampilkan model federatif yang berorientasi pada otonomi, sedangkan Oslo II melahirkan model fragmentasi yang melemahkan.

Kesamaan lain yang muncul adalah sulitnya menghapus sistem tersebut setelah berjalan. Baik di Bosnia, Palestina, maupun Suriah, pembelahan teritorial sudah membentuk realitas politik baru yang sulit dibongkar kembali.

Maka, perjanjian yang dimaksudkan untuk menghentikan perang justru menciptakan sistem administratif yang kompleks dan berlapis. Di tiga wilayah berbeda itu, masyarakat kini hidup dalam realitas pembagian yang awalnya dianggap solusi sementara, namun kini berubah menjadi kerangka permanen.

Apakah ada kemiripan antara Oslo II, Bosnia, dan Suriah? Jawabannya: ya, dari sisi struktur pembagian wilayah. Namun apakah hasilnya sama? Jelas tidak, sebab setiap konteks menghadirkan dinamika politik dan militer yang berbeda.

Pada akhirnya, pelajaran penting dari tiga contoh ini adalah bahwa sistem pembelahan wilayah bisa menjadi solusi instan bagi konflik, namun jarang menjadi jalan permanen menuju kedamaian yang menyeluruh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Pages