Sebuah Masjid Agung Hama Belum Pulih pasca Konflik Suriah - Islam di Australia dan Pasifik

Post Top Ad

Sebuah Masjid Agung Hama Belum Pulih pasca Konflik Suriah

Sebuah Masjid Agung Hama Belum Pulih pasca Konflik Suriah

Share This

Video terbaru yang diunggah Syrian Arab News Agency pada 21 September 2025 kembali membuka luka lama warga Suriah, khususnya di kota Hama. Dalam rekaman berdurasi dua menit lebih sedikit itu, kamera menyorot bangunan masjid yang hancur di Bab al-Qibli Quarter, wilayah bersejarah hanya beberapa ratus meter dari benteng kota Hama. Pemandangan reruntuhan itu menyiratkan betapa panjangnya penderitaan masyarakat di sana.

Seorang pria bernama Eli El-Naes, yang diperkenalkan sebagai perwakilan dari lembaga keagamaan setempat, tampak berbicara di depan kamera. Dengan suara berat, ia menjelaskan bahwa kondisi masjid-masjid di Hama masih memprihatinkan. Di sekelilingnya, dinding-dinding yang retak, kubah runtuh, dan menara patah setengah menjadi saksi bisu kehancuran yang belum tersentuh pembangunan kembali.

Tak lama kemudian, sosok lain muncul dalam video. Ia adalah Ahmed Hewarî, mantan imam Masjid Agung Hama. Berdiri di antara batu-batu berserakan, ia mengingatkan penonton akan masa lalu megah rumah ibadah itu. Kata-katanya sederhana, namun penuh kepedihan: masjid ini pernah menjadi pusat kehidupan spiritual dan sosial warga Hama, kini tinggal kenangan.

Masjid Agung Hama, yang dikenal juga sebagai Great Mosque of Hama, bukanlah bangunan biasa. Sejarahnya panjang, menembus berbagai dinasti dan rezim. Letaknya di jantung kota, Bab al-Qibli Quarter, menjadikannya pusat pertemuan dan ibadah. Dari generasi ke generasi, masjid ini menjadi simbol identitas warga Hama.

Namun sejarah mencatat, masjid tersebut pernah hancur total pada 1982. Ketika itu, Hama dilanda konflik sipil yang menorehkan luka mendalam di tubuh bangsa Suriah. Departemen Purbakala Suriah sempat membangun kembali masjid ini, mencoba mengembalikan kebanggaan warga. Tetapi bayangan tragedi lama tak pernah benar-benar hilang.

Kini, empat dekade kemudian, masjid itu kembali berada dalam keadaan yang mengenaskan. Rekaman video menunjukkan kondisi seakan-akan pembangunan tidak pernah dilakukan. Reruntuhan mendominasi pemandangan, membuat publik bertanya-tanya mengapa bangunan bersejarah itu dibiarkan terbengkalai.

Sejarawan lokal menegaskan bahwa Masjid Agung Hama adalah salah satu landmark terpenting dalam sejarah kota. Dibangun berabad-abad lalu di atas fondasi arsitektur klasik Islam, ia sempat mengalami renovasi demi renovasi. Setiap penguasa yang datang menambahkan ciri khasnya, menjadikannya mosaik sejarah yang indah.

Tragedi 1982 seolah menjadi titik balik. Meski dibangun kembali, masjid itu tidak pernah sepenuhnya pulih dari luka masa lalu. Ketika perang Suriah pecah pada 2011, banyak bangunan bersejarah kembali terancam, termasuk masjid ini. Kerusakan kali ini jauh lebih parah, hingga rekonstruksi terasa nyaris mustahil.

Warga Hama sering menaruh harapan agar masjid mereka kembali berdiri megah. Namun harapan itu kandas karena prioritas pembangunan masih terpecah akibat krisis berkepanjangan. Pihak berwenang berulang kali berjanji akan memulihkan situs keagamaan dan bersejarah, tetapi hingga kini janji tersebut belum terealisasi.

Bagi sebagian warga, Masjid Agung Hama lebih dari sekadar tempat ibadah. Ia adalah simbol kebersamaan, ruang di mana orang berkumpul tanpa melihat perbedaan. Hilangnya masjid dari lanskap kota sama artinya dengan hilangnya denyut nadi kehidupan sosial Hama.

Dalam wawancara di video, Ahmed Hewarî menggambarkan rasa kehilangan itu dengan kata-kata sederhana. Ia menekankan bahwa masjid adalah titik temu warga, pusat kegiatan keagamaan, sekaligus tempat belajar generasi muda. Kini, semua itu hilang bersama runtuhnya dinding-dinding tua.

Meski begitu, semangat warga Hama belum padam. Banyak di antara mereka percaya bahwa suatu hari masjid akan dibangun kembali, meskipun tidak tahu kapan hal itu terjadi. Keyakinan tersebut menjadi pengikat moral, memberi mereka alasan untuk tetap bertahan.

Pakar sejarah Suriah menilai keterlambatan rekonstruksi tak lepas dari situasi politik dan ekonomi yang tidak stabil. Dengan sumber daya terbatas, pemerintah kerap memprioritaskan pembangunan infrastruktur vital ketimbang situs sejarah. Akibatnya, masjid bersejarah ini semakin terpinggirkan.

Namun tekanan publik untuk segera melakukan pemulihan semakin kuat. Aktivis budaya dan akademisi menilai, membiarkan masjid dalam keadaan hancur berarti menghapus bagian penting dari identitas kota. Menurut mereka, rekonstruksi harus dilihat bukan hanya sebagai proyek fisik, tetapi juga penyembuhan luka kolektif.

Hama sendiri adalah kota yang kaya sejarah. Terletak di sepanjang Sungai Orontes, kota ini pernah menjadi pusat penting sejak zaman Bizantium hingga era Islam. Benteng Hama yang masih berdiri hingga kini menjadi saksi perjalanan panjang kota tersebut. Di dekatnya, Masjid Agung selalu menjadi simbol peradaban Islam di Suriah bagian tengah.

Kini, benteng masih berdiri, tetapi masjid justru roboh. Kontras ini menimbulkan ironi mendalam: monumen militer bertahan, sedangkan rumah ibadah luluh lantak. Banyak yang melihatnya sebagai gambaran nyata betapa kerasnya konflik memukul sisi spiritual masyarakat.

Kota Hama perlahan bangkit, tetapi kebangkitannya terasa timpang tanpa kehadiran kembali Masjid Agung. Jalan-jalan diperbaiki, pasar-pasar mulai ramai, namun kekosongan di jantung kota tetap terasa. Warga menyebutnya sebagai "luka terbuka" yang belum sembuh.

Bagi dunia internasional, kondisi masjid ini juga menjadi pengingat bahwa rekonstruksi pascaperang tidak hanya soal beton dan baja. Ia juga soal melestarikan ingatan kolektif, menjaga simbol-simbol yang merekatkan masyarakat. Tanpa itu, perdamaian terasa rapuh.

Video yang beredar kali ini bukan sekadar dokumentasi, melainkan juga seruan. Seruan agar sejarah tidak dilupakan, agar warisan leluhur dipulihkan, dan agar Masjid Agung Hama kembali berdiri sebagai rumah doa sekaligus simbol harapan bagi generasi mendatang.

Pada akhirnya, reruntuhan masjid itu bukan hanya batu yang berserakan. Ia adalah pesan bisu tentang kehancuran, sekaligus undangan untuk membangun kembali. Hama menunggu saat di mana suara azan kembali menggema dari menara Masjid Agungnya yang telah lama bisu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Pages